Sudah lebih dari empat bulan saya di
sini, di universitas yang ‘katanya’ universitas kerakyatan, Universitas Gadjah
Mada. Wow, terdengar keren ketika saya-yang otaknya biasa-biasa saja- ini bisa
masuk dalam daftar nama mahasiswa yang diterima di universitas tersebut. Banyak
yang bertanya-tanya mungkin, tentang saya diterima di jurusan apa? Atau mungkin
malah ada yang mengira kalau UGM salah menuliskan nama saya dalam daftar yang
diterima lewat SBMPTN?
Semuanya berawal dari mimpi. Mimpi yang
memaksa saya untuk membawanya tinggi-tinggi. Mimpi yang membuat saya memimpikan
UGM dalam tiap rajut doa-doa saya. Terkadang, rasa minder yang teramat dalam
menyerang, apa saya bisa? Dalam perjalanan saya hingga diterima di UGM, saya
mengalami banyak jatuh bangun. Jatuh bangun yang paling membuat saya sakit
ketika itu adalah ditolak FK-Kedokteran Umum hingga beberapa kali. Sempat juga
saya dibuat jatuh ketika ada yang minta main belakang, atau minta saya pindah
haluan ke FKG. Tidak. Saya tak mau.
Idealisme saya tetap teguh hingga
beberapa kali pendaftaran PTN, saya tetap memilih FK. Sampai suatu kali saya
tersadar bahwa FK bukan satu-satunya, saya masih punya harapan lain, selain FKG
tentunya. Dalam tiap-tiap doa saya panjatkan agar saya bisa diterima di PTN,
dapat jatah satu kursi saja akan saya syukuri, meski bukan di FK, meski bukan
pilihan pertama, begitu janji saya. Sampai pengumuman itu tiba……..
Alhamdulillah, saya diterima di S1
Teknik Nuklir UGM, satu-satunya prodi S1 Teknik Nuklir di Indonesia. Ketika itu,
Teknik Nuklir bukanlah pilihan pertama saya, hanya pilihan kedua, sempat saya
berfikir untuk mundur atau mencoba yang lain, tapi tak akan mudah dan malah
berbelit-belit. Akhirnya saya ambil secercah harapan dari UGM yang dibebankan
pada saya itu.
Hari-hari berikutnya diisi dengan
pendaftaran, mengurus berkas-berkas, pembayaran, dan lain-lain. Senang rasanya
walau harus rela bertahan duduk berjam-jam di depan laptop dan komputer untuk
kepentingan pendaftaran. Setidaknya usaha-usaha saya yang mengorbankan waktu
liburan akhir SMA itu terbayar sudah, di hadapan laptop yang tak kunjung
connect dengan internet meskipun sudah direfresh berkali-kali itu.
Masa-masa pendaftaran berakhir sudah
sebulan setelahnya. Saya harus segera berkemas, meninggalkan kota tercinta
saya, Surabaya, menuju persinggahan baru saya di Jogjakarta. Malam pertama di
Jogjakarta, indah sekali. Jogja adalah kota paling romantis yang pernah saya kunjungi,
pikir saya kala itu. Mata saya berbinar-binar melihat temaram lampu kota di
Jogja. Merenung, bersyukur.
Bulan-bulan kemudian, Jogja mulai
menampakkan sisi-sisi lainnya. Bukan lagi ramah dan sopan yang saya temui
ketika saya melihat orang-orang Jogja saat ini. Terlalu banyak pendatang,
membuat kebanyakan orang Jogja mengikuti gaya hidup mereka. Jogja kota, dulu
dan kini yang sangat berbeda.
Mahasiswa-mahasiswi kampus saya -yang dulu
saya elu-elukan paling berbeda dari semua universitas di Indonesia- itupun
mulai menampakkan celah-celahnya. Mahasiswa-mahasiswi yang dibilang ‘paling
merakyat’ itupun kini sudah berubah. Tak usah saya jelaskan kenapa, datanglah
ke Jogja, datanglah ke UGM, jawabannya pun sama seperti apa yang dilontarkan
presiden kita -yang dulu kuliah di UGM juga- di media baru-baru ini tentang
kampus saya.
Bulan-bulanan di UGM, bulan-bulanan di
Jogja, bulan-bulanan menjadi anak kost. Pengalaman pertama saya jauh dari orang
tua. Siapa sangka anak manja dan menyebalkan seperti saya bisa kuliah jauh dari
orang tua, makan secukupnya, dan ada di lingkungan..teknik?
Hmm.. Teknik. Saya hanya bisa tersenyum
ketika mengetiknya. Teknik yang dulu saya bilang ‘gak banget’ itu, kini seperti
melempar karma pada saya, memaksa saya untuk ikut jadi bagiannya. Teknik, yang
membuat saya harus mengerti benar akan perhitungan, membuat saya pegal ketika
laporan praktikum harus segera kumpul, membuat saya begadang ketika tugas
dijadikan tiket masuk kuliah, dan yang terpenting, membuat saya paham
pentingnya bekerja sama dengan orang lain untuk memecahkan masalah.
Nuklir. Aih.. Bom, teroris, mandul,
nikah muda, radiasi, begitu kesan pertama mereka ketika tahu bahwa saya masuk
Teknik Nuklir UGM. Teknik Nuklir UGM, membuat saya menemukan orang-orang baru
yang aneh, unik, lucu.. Terlebih jumlah perempuan yang hanya sembilan di Teknik
Nuklir membuat kami terlihat mencolok di kelas. Dengan karakter yang sangat
berbeda satu sama lain, kami berusaha lebur, akrab menjadi satu dalam bagian
Teknik Nuklir. Dari nuklir saya mengenal banyak orang dari berbagai daerah, mempelajari
banyak hal bersama-sama, datang ke pantai yang belum pernah saya lihat
sebelumnya secara beramai-ramai, hingga saling dukung ketika event-event
tertentu digelar. Teknik nuklir, di sini saya temukan calon orang-orang hebat,
seru, dan menyenangkan yang selalu menemani saya dalam tiap hari-hari yang saya
jalani.
Bulan-bulanan di UGM, beberapa kali
menggoreskan tinta kenangan yang tak kan mudah dilupa. Beberapa peristiwa yang
kan saya ceritakan pada anak-cucu saya nanti, peristiwa-peristiwa unik, layak supporter,
aksi, ospek, bahkan mengajar anak-anak kecil yang polos dan menggemaskan. Bulan-bulanan
di UGM, terasa lama kadang, ketika masalah mulai melanda, laptop&HP rusak
karena air, uang habis tepat ketika tanggal akhir dan tabungan belum
ditransfer, hingga cincin yang selalu ada di kelingking kanan saya tiba-tiba hilang.
Pada akhirnya, baik-buruk, suka-duka, yang saya alami di kampus ini akan
menjadi kenangan berharga, yang bisa diceritakan dan dibagi pada siapa saja
yang ingin mendengar.