Aku baru mengenalnya beberapa seminggu yang lalu. Seseorang yang memaksa untuk berkenalan denganku lewat pesan singkat di handphone kesayanganku. Aku tidak berkeinginan untuk membalas pesannya barang sekalipun. Ia terus menerus mengirimiku dengan pesannya, ia bilang ingin menjadi temanku, hal itu yang akhirnya membuatku membalas pesannya karena rasa ibaku terhadapnya.
Aku mulai mengetikkan jari-jariku pada keypad handphoneku,
"Namaku Adel, mengapa kamu memaksa untuk berkenalan denganku?" Aku menanyainya.
"Aku ingin menjadi temanmu, senang sekali akhirnya kamu membalas pesanku :) Perkenalkan, namaku Dennis" Balasnya.
"Oh iya.." Aku membalasnya dengan cuek seperti yang biasa kulakukan.
"Kamu dari kota mana, Del?" Tanyanya padaku.
"Surabaya, kamu?" Jawabku.
"Aku dari Malang, Del. Hmm, iya.. Kamu umur berapa, Del?" Tanyanya lagi. Pertanyaan yang membuatku kaget karena kebanyakan orang yang mengajak berkenalan menanyakan kelas berapa aku, bukan berapa umurku.
"12 tahun, kamu?" Jawabku sekenannya dengan baik menanyainya.
"Wah, juniorku. Aku 13 tahun, Del :) Kamu nggak sekolah, Del?" Tanyanya lagi.
"Ini kan jam 7 malam, aku udah pulang, udah sore gini." Jawabku.
"Oh, gitu ya. Bentar ya Del, aku mau berobat dulu, sampai jumpa besok." Balasnya.
Aku pun mengakhiri percakapan dengan kata-kata "OK, bye".
Keesokan harinya dia mengirimiku pesan singkat lagi,
"Adel :)" Sapanya,
"Hai, Den. Ada apa?" Tanyaku.
"Del, temani aku ya" Balasnya.
"I don't know what you mean, Den" Jawabku
"Aku nggak punya temen sama sekali, Del. Aku cuman punya kamu sama mamaku, Del"
"Aku nggak ngerti, Den"
"Aku udah setahun di rumah sakit, Del. Aku nggak punya temen sama sekali. Aku berkali-kali ngelacak nomor buat dapetin temen, sekedar lewat pesan singkat, tapi gak ada yang bales, cuma kamu yang mau bales pesan singkatku, Del"
"Lalu? Memangnya kamu sakit apa, Den? Tanyaku penasaran.
"Temani aku sampai nafas terakhirku, Del. Aku nggak mau nyeritain ke kamu apa penyakitku, Del. Aku udah ngidap penyakit ini lama. Dan dokter bilang umurku nggak lama lagi"
"Jangan ngomong sembarangan, Den!!!" Balasku dengan sedikit emosi.
"Aku serius, Del. Sumpah!" Balasnya, kali ini tanganku sedikit bergetar membaca pesannya.
Hari demi hari berlalu, aku dan Dennis kian bertambah dekat. Dia mulai menceritakan padaku tentang kehidupannya. Dia bilang bahwa penyakitnya sudah menghinggapi dirinya sejak dia duduk di bangku sekolah dasar. Alhasil teman-temannya mulai menjauhinya. Ia berusaha menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar semampunya, meskipun tidak ada satu temanpun yang mau berdiri di sampingnya. Di bangku sekolah menengah pertama pun kehidupannya tak kunjung membaik. Penyakitnya membuatnya tidak masuk sekolah lebih dari 50% kehadirannya. Nilainya banyak yang kosong karena sebagian besar waktunya hanya dihabiskan di rumah dan di rumah sakit. Ia juga sudah lupa cara bersosialisasi dengan teman-temannya hingga membuatnya tidak mempunyai teman, lagi. Pikirannya semakin kacau, membuat semuanya makin memburuk, termasuk kondisi fisiknya saat ini. Bahkan pihak rumah sakit sudah angkat tangan dengan penyakit yang diderita Dennis.
Aku berusaha menjadi teman terbaik yang Dennis punya, berusaha menepis semua bayanganku akan kelemahan-kelemahan Dennis, berpikir positif untuk Dennis tetap hidup layaknya orang-orang pada umumnya.
Hingga hari itu tiba, tepat tujuh hari ssetelah berkenalan dan bertukar berbagai cerita satu sama lain.
"Del, doakan aku, aku rasa ini saat terakhir kita berbalas pesan".
"Den, ayolah semangat. Kamu masih bisa hidup seperti orang-orang sehat lainnya, Den"
"Del, aku nggak kuat. Ini detik-detik terakhirku, doakan aku, Del"
"Nggak, Den. Kamu pasti bisa ngelawan penyakitmu" Kataku dengan tidak rela.
Diam. Tidak ada balasan dari Dennis. Aku khawatir setengah mati membayangkan keadaan Dennis saat itu.
Beep. Handphoneku berbunyi lagi, tertera tulisan 1 new messages di layar handphone biruku. Aku cepat cepat membukanya, berharap sms tersebut adalah sms Dennis yang mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Aku mulai membuka pesan tersebut, perlahan tapi pasti, aku membaca isi pesan tersebut.
"Untuk Adel yang tercinta, saya adalah mm dari Dennis. Dennis telah meninggal dunia pada 16.04 sore ini. Harap kamu membacakan Al-Fatihah untuknya. Terimakasih telah mau menjadi sahabat terbaik Dennis."
Air mataku menetes perlahan, lantunan kalimat Innalillahi Wa Innalillahi Rojiun, beserta surat Al-Fatihah keluar dari mulutku. Aku menangis semakin dalam dan dalam. Hingga memutuskan untuk menghapus semua pesan darinya.
Dennis, mungkin kamu lebih nyaman di surga, di tempat yang tidak ada seorang pun yang ingin memusuhimu, di tempat yang kamu tidak menderita fisik seperti di dunia ini. Selamat jalan Dennis. Semoga bahagia di tempat kekalmu.
Dennis
Salah Siapa?
Akhir-akhir ini kalian bakal nemu hasil yang sangat amat banyak ketika ngetik keyword "Kualitas Pendidikan Indonesia Terburuk di Dunia" di www.google.com . Entah ini bener atau nggak. Setauku kualitas pendidikan Indonesia cuma terburuk se-Asia kok, eh nggak taunya sedunia. Kaget? Sedih? Bete? Sama, kalo kalian masih normal mungkin bakal kaget, sedih, dan bete waktu tau negara kalian ada di peringkat paling bawah sedunia kualitas pendidikannya. Ini bukan salah kita kok, ini salah sistem kita. Kalo sistemnya aja salah, pasti kita juga kebawa salah kan, ya? Walaupun mungkin kita ngerasanya udah bener.
Harusnya kita banyak belajar dari Finlandia, yang kualitas pendidikannya terbaik No.1 di dunia. Nggak gampang sih ngubah sistem, tapi apalah salahnya bagi-bagi tips dan info untuk kalian-kalian para pembaca tersayang :)
Jadi gini, di Finlandia itu kualitas pengajar jadi prioritas utama. Para pengajar (guru) adalah orang-orang yang sangat dihargai dan dihormati oleh masyarakat setempat. Gimana enggak? Siswa-siswi terbaik setelah lulus dari sekolah menengahnya (SMA), langsung mendaftar di fakultas pendidikan. Nah, di fakultas pendidikan ini pun yang diterima hanya 1:7. Artinya hanya siswa-siswi terbaik yang bisa masuk di fakultas pendidikan. Untuk menjadi guru, mereka harus masuk 10 besar di fakultas pendidikan tersebut. Artinya, guru di Finlandia adalah mantan mahasiswa dan mahasiswi best of the best di tempat kuliahnya dulu. Wow. Sedangkan di Indonesia, orang enggan untuk menjadi guru, dan guru di Indonesia tidak melewati tahap seselektif seperti di Finlandia, sehingga guru di Indonesia terkesan seperti 'semua orang bisa menjadi guru asalkan mau'.
Di Finlandia juga, guru membuat kurikulumnya sendiri, tidak seperti di Indonesia yang seakan-akan mengerja rodikan guru-gurunya.
Di Finlandia, setiap kelas diberi tiga pengajar, dua pengajar mata pelajaran, dan satu pengajar sebagai pengawas. Tiga pengajar tersebut yang akan menemani kita selama 12 tahun masa sekolah. Sehingga guru mampu mengenali dan memahami karakter siswa-siswinya. Menilik Indonesia, selama 6 tahun di Sekolah Dasar, kita senantiasa berganti guru setiap tahunnya. Artinya kita harus menyesuaikan sikap kita pada satu guru kita yang baru tiap tahunnya. Di SMP, guru setiap mata pelajaran berbeda-beda, dan setiap naik kelas, guru yang mengajar kita akan 'diacak' lagi, sehingga kita harus menyesuaikan diri dengan kurang lebih 9 guru tiap tahunnya (mat-bio-fis-bin-big-sej-geo-seni-OR). Di SMA, guru juga 'diacak' setiap naik kelas, bahkan jumlah mata pelajaran yang diajarkan lebih banyak. Artinya, murid dan guru harus adaptasi lagi, adaptasi lagi dan begitu seterusnya. Padahal adaptasi bukanlah hal yang mudah dilakukan. Mungkin akan terasa sedikit lebih ringan jika keduanya saling memaklumi, tapi guru dan siswa yang memaklumi hal tersebut mungkin hanya 1:10. Selebihnya? Mungkin ada yg shock menghadapi guru yang killer, ada yang mengantuk mendengarkan guru yang lemah lembut, ada yang ramai ketika menghadapi guru yang terlihat santai, dsb. Begitupun guru, mungkin ada yang marah melihat muridnya tidak bisa mengerjakan soal yang telah diberikannya, atau mungkin ada yang merasa disaingi melihat muridnya lebih pintar darinya, dsb.
Finlandia tidak mengenal Ujian Nasional, untuk mengetahui kualitas siswa-siswinya, mereka diuji berdasarkan mata pelajaran yang mereka kuasai. Di Indonesia, ketika siswa tidak memahami suatu mata pelajaran, misalnya kimia, mereka dipaksa untuk melahap habis materi tersebut, guru tidak mau tahu kemampuan siswanya, semuanya pukul rata, sehingga siswa yang tidak memahami kimia selalu mencontek ketika diberi tugas, pr, bahkan ulangan. Hal ini juga menyebabkan mental siswa menjadi lemah ketika ujian akhir kimia dilaksanakan. Sedangkan di Finlandia, guru berusaha memahami siswanya, bagi mereka yang memiliki kemampuan kurang akan dibina sehingga menjadi siswa yang cerdas. Ajaib, dengan sistem yang dipakai Finlandia, angka ketidaklulusan siswa-siswi di Finlandia hanya sekitar 2% tiap tahunnya, dan jujur!
Satu lagi, politik Finlandia tidak pernah memengaruhi kualitas pendidikan mereka, berbeda dengan Indonesia yang tiap tahunnya selalu berganti sistem pendidikan hanya karena menteri pendidikan ganti atau gejolak politik lainnya.
Artikel ini dibuat sebagai koreksi terhadap sistem pendidikan Indonesia. Tidak ada maksud buruk dalam pembuatan artikel ini. Selebihnya harap maklum kurang lebihnya :)
Unas Oh Unas
Ujian Nasional. Dua kata yang sangat-sangat tidak asing di telinga kita. Ujian ini ditujukan untuk 'mengukur' kemampuan putra-putri Indonesia. Lalu dengan adanya Ujian Nasional, apakah kiranya nilai-nilai yang kita dapatkan ini benar-benar sesuai kemampuan yang kita miliki? Simak kisahku dan beberapa temanku pada 2 tahun yang lalu.
Aku bukan siswa yang pintar yang selalu menduduki peringkat yang mengagumkan, beberapa kali peringkatku naik, beberapa kali pula turun. Tapi aku sudah berusaha semaksimal mungkin menyerap pelajaran yang telah diajarkan oleh guru-guruku di kelas 9, ya, aku akan menghadapi Ujian Nasional ketika itu. Ujian yang terdengar sedikit mengerikan di telingaku. Sekitar 2 bulan menjelang Ujian Nasional, seorang teman, A menghampiriku dan menawarkanku untuk membeli kunci jawaban, "tidak", jawabku, beberapa kali A merayuku, aku tetap bilang "tidak", akhirnya A pun pergi. Hari demi hari berlalu, Ujian Nasional kian mendekat. Siswa-siswi yang tergiur kunci jawaban pun semakin banyak, termasuk sahabat-sahabatku yang sudah aku yakinkan untuk melaksanakan Ujian Nasional dengan jujur. Sampai tiba hari H itu, jam 6 pagi aku sudah ada di sekolah, tujuanku adalah mereview materi-materi yang telah kupelajari. Tiba-tiba seorang teman, B dengan tergopoh-gopoh berlarian dari kelas satu ke kelas lainnya. Untuk apa? Mencari kunci jawaban. Berbekal pensil dan kertas kecil, B mencatat kunci jawaban yang telah dia dapat. Siswa yang datang kian banyak, mereka mengerumuni B yang menjadi sudah berhasil mendapat kunci jawaban tersebut. Begitu berlangsung setiap hari selama Ujian Nasional. Setiap melihat adegan tersebut yang kulakukan hanyalah berdoa, berdoa, dan berdoa lagi. Hari terakhir Ujian Nasional, aku bertemu dengan seorang teman, C yang merupakan anak yang pendiam dan rajin di kelas. Aku tanyakan padanya pelan-pelan,
"C, kamu jujur atau ....?"
C pun menjawab, "Aku jujur, namun tidak yakin dengan jawabanku. Oh ya, bukannya kamu juga pernah berjanji untuk melaksanakan ujian dengan jujur?"
"Ya, aku sudah jujur dan sudah berusaha sebisaku", jawabku pendek.
Tiba-tiba air mukanya berubah
"Tit, aku takut", katanya.
"Takut kenapa?" jawabku.
"Takut tidak lulus, aku tidak bisa mengerjakan beberapa soal. Tapi aku senang karena tahu ada yang jujur sepertiku", jawabnya.
"Ya, aku juga tidak berhasil melahap semua soal, tapi aku yakin bisa lulus dan masuk ke sekolah yang aku inginkan. Yakinlah kita bisa", aku berusaha menguatkannya.
Ujian Nasional berakhir, sebulan setelah itu aku mendapat sebuah sms yang berisi nilai hasil Ujian Nasional siswa-siswi kelasku. Betapa sedihnya aku ketika tahu bahwa nilaiku dan nilai C menempati nilai terendah di kelas. Sedangkan nilai-nilai teman-teman kami yang tidak mengerjakan ujian dengan jujur malah mendapat nilai fantastis kisaran 36-38. Aku menangis, benar-benar menangis. Upayaku dan semua lelahku di kelas 9 tergantikan emosi yang meluap-luap. Aku harus daftar RSBI, aku harus mengikuti tes, aku yakin bisa, begitu pikirku. Aku pun langsung bersiap, membuka-buka lagi buku-bukuku. Tidak seperti kebanyakan temanku yang sudah dalam tahap aman dan bersantai-santai. Hari tes RSBI itu tiba, aku tidak bisa mengerjakan dengan baik, kalut, benar-benar kalut karena soal yang dikeluarkan bukanlah soal-soal yang mudah. Selang beberapa minggu, hasil tes RSBI keluar. Aku terkejut setengah mati, bahagia karena namaku tertera pada sebuah Sekolah Menengah Atas yang cukup baik di kotaku. Aku bersyukur ketika itu, amat bersyukur, aku menangis di hadapan kedua orang tuaku. Tapi C, C tidak bisa masuk di SMA Negeri manapun, mengikuti tes RSBI pun nilainya tidak cukup, dia masuk di sebuah SMK Negeri yang letaknya amat-amat jauh dari rumahnya yang berada di pusat kota. Aku prihatin, benar-benar prihatin.
Di SMA-ku pun ternyata banyak cerita-cerita serupa, siswa yang pintar yang nilainya tiba-tiba jeblok saat Ujian Nasional, sedangkan siswa yang tidak pernah mendapat prestasi tinggi tiba-tiba nilainya sangat cemerlang ketika Ujian Nasional. Di suatu kecamatan di Surabaya, seorang penentang kecurangan Ujian Nasional digerebek rumahnya oleh masyarakat setempat. Di suatu kelas, guru mengajarkan muridnya untuk berorientasi hanya pada 'kelulusan' saja, dengan mengacaukan segala kejujuran dan percaya diri siswa. Di suatu sekolah, antar kepala sekolah menyuruh pengawas kelas untuk tidak menegur siswanya yang sedang asyik bercontek ria. Kejadian seperti ini kian nyata dari tahun ke tahunnya. Bahkan bukan rahasia lagi jika guru, orang tua, bahkan masyarakat menjadi dalang utama kecurangan Ujian Nasional. Ujian Nasional memang bertujuan baik, tapi efek samping dari Ujian Nasional amat sangat tidak baik. Apalah artinya nilai tanpa kejujuran, apalah artinya kejujuran tanpa hasil yang setimpal? Unas.. oh Unas...
Seruan Kebaikan
Ketika kamu ingin bicara, bicaralah, walaupun kamu tau kata-kata yang keluar dari mulutmu mungkin berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. Walau kamu terkadang bingung dengan apa yang telah kamu bicarakan. Demi kebaikan.
Ketika kamu ingin berkomentar, berkomentarlah, walaupun kamu tau komentar yang keluar dari mulutmu mungkin tak akan digubris barang sedikitpun olehnya. Walau kamu terkadang resah dengan komentar yang telah kamu lontarkan. Demi kebaikan.
Ketika kamu ingin apapun, lakukan apapun, asal demi kebaikan. Biar orang bilang kita sok suci, sok baik, sok alim. Nyatanya lebih baik jadi sok suci, sok baik, sok alim, daripada sok kotor, sok jahat, dan sok-sok tidak baik lainnya.
Seorang teman pernah bilang "lihat si A itu, dia terus menyeru pada anak, sanak saudara-saudarinya untuk tidak berjudi, padahal dia sendiri senang berjudi, malah bandar judi"
Aku hanya diam, lalu menimpali "lihat si B itu, dia bandar narkoba, menjadikan anaknya pengedar narkoba, bukankah itu lebih buruk?"
Temanku bertanya lagi "tapi apalah guna berseru kebaikan jika kita sendiri tidak melakukan kebaikan?"
"Kamu benar, amat benar. Tapi yang demikian yang dilakukan oleh si bandar judi juga benar. Haruskah seorang ustadz/ustadzah yang mengajarkan muridnya untuk mengaji? Haruskah seorang guru yang menyerukan muridnya untuk belajar? Haruskah seorang polisi yang menyerukan masyarakat untuk taat hukum? Tidak bukan? Bukankah semua orang mempunyai hak untuk saling mengingatkan dalam kebaikan?"
"Iya, semua orang memang mempunyai hak untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Bukankah hanya jika orang tersebut melakukan kebaikan yang diserukannya?"
"Saudaraku, jika hanya orang yang melakukan hal baik yang boleh menyerukan kebaikan, maka bisa dihitung dengan jari orang yang mau berseru kebaikan. Misalkan sang bandar judi tersebut enggan menyerukan pada anaknya untuk tidak berjudi, hanya karena ia sendiri seorang penjudi, maka anaknya sudah bisa dipastikan akan menjadi penjudi juga. Bagaikan penyakit menular, meskipun penyakit tersebut telah menggerogoti tubuh kita dan tak bisa disembuhkan, akan lebih baik jika kita mengupayakan sekuat tenaga agar penyakit tersebut tidak menular ke anak kita, walaupun kita tahu kemungkinannya hanya sekitar 0,99%, bukankah yang demikian yang lebih baik?"
"Bukankah lebih baik jika kita menjaga kesehatan kita dan tidak akan menularkan penyakit apapun kepada saudara-saudara kita?"
"Yang demikian sangatlah baik, saudaraku. Melakukan kebaikan, memberi contoh, dan menyerukan kebaikan kepada sesama amatlah baik. Tapi untuk kasus yang terjadi pada manusia yang sudah terserang penyakit, hendaklah kita tidak menjudge mereka dengan sebutan sok-sokan dan apalah, hanya karena kita tau bahwa kebaikan yang mereka serukan telah mereka langgar sendiri.."
Sekian
Writer Must Like This
Darwis Tere Liye, Do you know him?
Yes, I do. But no, not really, hahaha :p I mean, I just know a little thing about him.
Jadi Darwis Tere Liye ini adalah seorang penulis novel berbahasa Indonesia. Terkenal karena kemampuan menulisnya yang piawai dengan bahasa yang lugas dan santun.
Tahukah kalian film berjudul "Hafalan Shalat Delisa", "Moga Bunda Disayang Allah", atau "Bidadari-Bidadari Surga"? Ya, film-film tersebut adalah film yang diangkat dari novel karya Darwis Tere Liye.<(hasil searching 5 menit yg lalu)
Nah, ternyata Tere Liye ini pernah disebut namanya oleh guru Bahasa Indonesia di kelas X, dan guruku ketika itu menyebutkan bahwa salah satu karya Tere Liye yang berjudul "Negeri Para Bedebah" adalah karya yang baik, baik dalam penulisan, pemilihan kata, maupun isinya. Ketika itu saya tidak begitu paham dengan apa yang diterangkan oleh guru tersebut. Sampai pada suatu saat, Mbak Ayun membawakan sebuah novel berwarna merah muda dengan cover hati yang terluka parah. Ya, novel itu berjudul Sepotong Hati yang Baru, judul tersebut persis dengan judul karya tulis karangan guru Bahasa Indonesiaku yang akhirnya di'sinetron'kan di TVRI.
Penasaran dengan isinya, aku langsung membuka lembar demi lembar novel tersebut. Pada awalnya aku sempat berpikir "Ah, apa bedanya penulis ini dengan penulis novel yang lain, ceritanya cinta-cintaan lagi, bosan". Ternyata setelah aku melanjutkan ke bab selanjutnya, aku menemukan kisah yang hmmm. berbeda. Dalam novel tersebut, kisah-kisah yang diceritakan oleh Tere Liye bukanlah kisah yang panjang, berbelit-belit, dengan bahasa gaul merepet alay seperti novel-novel yang sering kita temukan sekarang. Kisah-kisah yang ditawarkan oleh Tere Liye ini singkat, tapi mengena. Beberapa kisah seperti kisah Ramayana dan Sampek-Engtay diubahnya menjadi kisah yang penuh haru, dan... menyihir! hehe.
Dalam waktu beberapa jam, novel tersebut sudah kulahap habis. Penasaran, aku iseng searching fanpage Tere Liye di Facebook. WOW! Ternyata Tere Liye ini punya banyak fans juga, sekitar 140rb.an. Good Job, Bang!
Aku pun ikut-ikutan ngelike FP tersebut, dan ternyata Tere Liye ini gemar mengupdate status tentang opininya. Opininya memang kritis, tajam, dan terpercaya. #eh. jk.
Salah satunya opininya adalah tentang kontes kecantikan yang menurutnya menyalahi arti dari 'kecantikan itu sendiri,kecantikan yang hakiki'.
Daripada penasaran, mending buka link ini di facebook kalian:
http://www.facebook.com/darwistereliye?fref=ts
Catatan Niih: Ternyata sedikit banyak karyanya Tere Liye ini dijadikan soal di try out/drill/soal-soal Bahasa Indonesia di sekolahku. Walaupun cuma beberapa nomer, tapi it's good, Bang! Makin ngefans lah sama Bang satu ini.
![]() |
His wife-His baby-Him What A Happy Family, Right? |