RSS

Unas Oh Unas

Ujian Nasional. Dua kata yang sangat-sangat tidak asing di telinga kita. Ujian ini ditujukan untuk 'mengukur' kemampuan putra-putri Indonesia. Lalu dengan adanya Ujian Nasional, apakah kiranya nilai-nilai yang kita dapatkan ini benar-benar sesuai kemampuan yang kita miliki? Simak kisahku dan beberapa temanku pada 2 tahun yang lalu.
Aku bukan siswa yang pintar yang selalu menduduki peringkat yang mengagumkan, beberapa kali peringkatku naik, beberapa kali pula turun. Tapi aku sudah berusaha semaksimal mungkin menyerap pelajaran yang telah diajarkan oleh guru-guruku di kelas 9, ya, aku akan menghadapi Ujian Nasional ketika itu. Ujian yang terdengar sedikit mengerikan di telingaku. Sekitar 2 bulan menjelang Ujian Nasional, seorang teman, A menghampiriku dan menawarkanku untuk membeli kunci jawaban, "tidak", jawabku, beberapa kali A merayuku, aku tetap bilang "tidak", akhirnya A pun pergi. Hari demi hari berlalu, Ujian Nasional kian mendekat. Siswa-siswi yang tergiur kunci jawaban pun semakin banyak, termasuk sahabat-sahabatku yang sudah aku yakinkan untuk melaksanakan Ujian Nasional dengan jujur. Sampai tiba hari H itu, jam 6 pagi aku sudah ada di sekolah, tujuanku adalah mereview materi-materi yang telah kupelajari. Tiba-tiba seorang teman, B dengan tergopoh-gopoh berlarian dari kelas satu ke kelas lainnya. Untuk apa? Mencari kunci jawaban. Berbekal pensil dan kertas kecil, B mencatat kunci jawaban yang telah dia dapat. Siswa yang datang kian banyak, mereka mengerumuni B yang menjadi sudah berhasil mendapat kunci jawaban tersebut. Begitu berlangsung setiap hari selama Ujian Nasional. Setiap melihat adegan tersebut yang kulakukan hanyalah berdoa, berdoa, dan berdoa lagi. Hari terakhir Ujian Nasional, aku bertemu dengan seorang teman, C yang merupakan anak yang pendiam dan rajin di kelas. Aku tanyakan padanya pelan-pelan,
"C, kamu jujur atau ....?"
C pun menjawab, "Aku jujur, namun tidak yakin dengan jawabanku. Oh ya, bukannya kamu juga pernah berjanji untuk melaksanakan ujian dengan jujur?"
"Ya, aku sudah jujur dan sudah berusaha sebisaku", jawabku pendek.
Tiba-tiba air mukanya berubah
"Tit, aku takut", katanya.
"Takut kenapa?" jawabku.
"Takut tidak lulus, aku tidak bisa mengerjakan beberapa soal. Tapi aku senang karena tahu ada yang jujur sepertiku", jawabnya.
"Ya, aku juga tidak berhasil melahap semua soal, tapi aku yakin bisa lulus dan masuk ke sekolah yang aku inginkan. Yakinlah kita bisa", aku berusaha menguatkannya.
Ujian Nasional berakhir, sebulan setelah itu aku mendapat sebuah sms yang berisi nilai hasil Ujian Nasional siswa-siswi kelasku. Betapa sedihnya aku ketika tahu bahwa nilaiku dan nilai C menempati nilai terendah di kelas. Sedangkan nilai-nilai teman-teman kami yang tidak mengerjakan ujian dengan jujur malah mendapat nilai fantastis kisaran 36-38. Aku menangis, benar-benar menangis. Upayaku dan semua lelahku di kelas 9 tergantikan emosi yang meluap-luap. Aku harus daftar RSBI, aku harus mengikuti tes, aku yakin bisa, begitu pikirku. Aku pun langsung bersiap, membuka-buka lagi buku-bukuku. Tidak seperti kebanyakan temanku yang sudah dalam tahap aman dan bersantai-santai. Hari tes RSBI itu tiba, aku tidak bisa mengerjakan dengan baik, kalut, benar-benar kalut karena soal yang dikeluarkan bukanlah soal-soal yang mudah. Selang beberapa minggu, hasil tes RSBI keluar. Aku terkejut setengah mati, bahagia karena namaku tertera pada sebuah Sekolah Menengah Atas yang cukup baik di kotaku. Aku bersyukur ketika itu, amat bersyukur, aku menangis di hadapan kedua orang tuaku. Tapi C, C tidak bisa masuk di SMA Negeri manapun, mengikuti tes RSBI pun nilainya tidak cukup, dia masuk di sebuah SMK Negeri yang letaknya amat-amat jauh dari rumahnya yang berada di pusat kota. Aku prihatin, benar-benar prihatin.
Di SMA-ku pun ternyata banyak cerita-cerita serupa, siswa yang pintar yang nilainya tiba-tiba jeblok saat Ujian Nasional, sedangkan siswa yang tidak pernah mendapat prestasi tinggi tiba-tiba nilainya sangat cemerlang ketika Ujian Nasional. Di suatu kecamatan di Surabaya, seorang penentang kecurangan Ujian Nasional digerebek rumahnya oleh masyarakat setempat. Di suatu kelas, guru mengajarkan muridnya untuk berorientasi hanya pada 'kelulusan' saja, dengan mengacaukan segala kejujuran dan percaya diri siswa.  Di suatu sekolah, antar kepala sekolah menyuruh pengawas kelas untuk tidak menegur siswanya yang sedang asyik bercontek ria. Kejadian seperti ini kian nyata dari tahun ke tahunnya. Bahkan bukan rahasia lagi jika guru, orang tua, bahkan masyarakat menjadi dalang utama kecurangan Ujian Nasional. Ujian Nasional memang bertujuan baik, tapi efek samping dari Ujian Nasional amat sangat tidak baik. Apalah artinya nilai tanpa kejujuran, apalah artinya kejujuran tanpa hasil yang setimpal? Unas.. oh Unas...


Baca postingan lanjutannya yuk ^^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar